Kartika Podcast Episode 6 : Eduaksi Mitigasi Bencana

Mitigasi bencana merupakan salah satu aspek penting yang harus menjadi perhatian serius, khususnya bagi masyarakat Indonesia yang secara geografis berada di wilayah rawan bencana. Dalam sebuah Kartika Podcast episode ke-6, diskusi mendalam bersama Ibu Riskina Tri Januarti istri dari Kopda Jufri yang berprofesi sebagai praktisi manajemen risiko di rumah sakit menjelaskan tentang betapa pentingnya edukasi mitigasi bencana. Beliau menekankan  berdasarkan survei WRR (Wastewater Resource Recovery) bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerawanan bencana tertinggi kedua di dunia, setelah Filipina. Hal ini disebabkan oleh letak geografis Indonesia yang berada di atas empat lempeng tektonik aktif, dilintasi ring of fire, serta memiliki iklim tropis dengan curah hujan tinggi dan topografi yang kompleks. Semua faktor ini menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap berbagai bencana, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, hingga tsunami.

Konsep mitigasi bencana tidak sekadar berarti menghadapi bencana ketika sudah terjadi, melainkan melibatkan serangkaian upaya sistematis untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Upaya ini mencakup penguatan kapasitas masyarakat, peningkatan kesadaran risiko, dan pengenalan langkah-langkah penyelamatan dini. Menurut Ibu Riski, langkah paling dasar dari mitigasi adalah kesadaran diri. Seseorang harus mengenali di mana ia tinggal, memahami potensi bencana di wilayah tersebut, dan menilai kerentanannya sendiri serta kapasitas menghadapi bencana.

Pendidikan dan pelatihan menjadi pilar penting dalam membentuk kesiapsiagaan. Edukasi mitigasi bencana harus dimulai sejak dini, bahkan kepada anak-anak. Pemerintah sendiri telah menjalankan program “Sekolah Siaga Bencana” dan “Desa Tangguh Bencana (Destana)” untuk menyasar lapisan masyarakat secara luas. Anak-anak diberi pemahaman melalui media edukatif dan simulasi bencana agar mereka mampu bertindak cepat dan tepat jika bencana terjadi. Menanamkan kesiapsiagaan sejak dini dianggap sebagai investasi sosial jangka panjang, karena anak-anak inilah yang kelak menjadi generasi penentu masa depan bangsa dalam menghadapi ancaman bencana.

Dalam proses edukasi, semua pihak memiliki peran yang sama pentingnya. Pemerintah, organisasi non-pemerintah (LSM), dunia usaha, hingga masyarakat umum harus berkolaborasi. Pemerintah bertugas membuat regulasi dan menyediakan instrumen seperti peralatan evakuasi, sistem peringatan dini, serta fasilitas pelatihan. LSM dan dunia usaha bisa terlibat melalui dukungan logistik maupun penguatan kapasitas masyarakat. Sementara masyarakat sendiri harus aktif mencari informasi, mengikuti pelatihan, dan membentuk budaya tanggap bencana dalam kehidupan sehari-hari.

Peran keluarga, terutama ibu rumah tangga, sangat strategis dalam menyebarluaskan budaya tanggap bencana. Dalam podcast tersebut, Ibu Riski menjelaskan pentingnya membuat “go-bag”  tas darurat yang sudah berisi perlengkapan penting seperti dokumen, makanan tahan lama, obat-obatan, pakaian dalam, dan alat komunikasi seperti peluit. Tas ini harus disimpan di tempat yang mudah dijangkau agar dapat dibawa segera ketika evakuasi diperlukan. Tak kalah penting, setiap anggota keluarga perlu diberi peran. Misalnya, ayah bertugas memastikan semua anggota keluar dari rumah, ibu mengatur logistik atau perlengkapan darurat, dan anak-anak mengingat prosedur evakuasi yang telah diajarkan.

Penting pula mengedukasi masyarakat tentang jenis-jenis bencana. Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, bencana dikategorikan menjadi tiga: bencana alam (seperti gempa bumi, tsunami, banjir, gunung meletus), bencana non-alam (seperti wabah penyakit dan kegagalan teknologi), serta bencana sosial (seperti konflik sosial dan kerusuhan). Masing-masing jenis bencana membutuhkan pendekatan mitigasi yang berbeda. Misalnya, untuk banjir, masyarakat perlu memahami informasi ketinggian air secara berkala dan mengikuti instruksi evakuasi dari RT atau RW setempat. Dalam kasus gempa bumi, masyarakat harus melindungi diri dengan berjongkok di bawah meja kokoh hingga getaran berhenti, lalu segera evakuasi ke tempat terbuka yang aman.

Dalam menghadapi potensi tsunami, edukasi terhadap sistem peringatan dini menjadi sangat penting. Masyarakat pesisir harus familiar dengan bunyi sirene atau alarm dari sistem Early Warning System (EWS), dan segera melakukan evakuasi ke tempat yang lebih tinggi begitu sistem aktif. Peluit dalam gobek sangat berguna untuk memanggil pertolongan jika seseorang terjebak reruntuhan dan tidak bisa bersuara keras.

Kesiapsiagaan juga harus mencakup pertolongan pertama. Apabila terjadi luka atau cedera, ibu rumah tangga sebagai orang tertua di rumah harus mampu mengidentifikasi kondisi korban, mengevaluasi lingkungan agar tidak membahayakan, dan memberikan pertolongan medis dasar. Namun, ini semua harus dilakukan dengan ketenangan, bukan kepanikan. Dalam kondisi darurat, ketenangan adalah kunci utama agar tindakan bisa dilakukan secara efektif.

Untuk mendukung semua upaya tersebut, pelatihan mitigasi bencana sudah banyak tersedia baik oleh pemerintah maupun organisasi sosial. Untuk Ibu Persit, pelatihan ini menjadi bentuk partisipasi aktif dalam menjaga ketahanan keluarga dan lingkungan. Cara mengikuti pelatihan ini pun cukup mudah: informasi banyak tersedia di media sosial, grup WhatsApp, maupun situs-situs resmi kebencanaan seperti BNPB. Yang dibutuhkan hanya satu: kesadaran diri. Kesadaran untuk mencari ilmu, mengikuti pelatihan, dan terus mengasah keterampilan.

Akhirnya, edukasi dan mitigasi bencana bukan hanya tugas pemerintah, tapi tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat. Perempuan, khususnya ibu rumah tangga, memiliki peran vital dalam membangun budaya sadar bencana di lingkup terkecil: keluarga. Dari keluarga yang tanggap, akan terbentuk masyarakat yang tangguh. Dari masyarakat yang tangguh, akan lahir bangsa yang siap menghadapi bencana dengan lebih baik. Sebab bencana tidak mengenal waktu, usia, ataupun status sosial. Kebutuhan mendasar dalam mitigasi bencana hanyalah kesiapan dalam menghadapinya.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *